6 Prinsip Moderasi Beragama dalam Konsep Islam
Belajar Daring - 6 Prinsip Moderasi Beragama dalam Konsep Islam merupakan tema pembehasan kali ini yang akan Admin informasikan kepada Anda.
6 Prinsip Moderasi Beragama dalam Konsep Islam yang Admin bagikan kepada Anda semoga dapat menjadi bahan referensi atau rujukan tambahan.
Moderasi merupakan sikap jalan tengah atau sikap keragaman yang hingga saat ini menjadi terminologi alternatif di dalam diskursus keagamaan, baik di tingkat global maupun lokal.
Moderasi masih dianggap sebagai sikap keragaman yang paling ideal ketika di tengah kemelut konflik keagamaan mulai memanas.
Adapun 6 prinsip moderasi beragama yang berhubungan dengan kosep Islam wasathiyah adalah sebagai berikut:
- Tawassuth (mengambil jalan tengah)
- Tawāzun (berkeseimbangan)
- I'tidāl (lurus dan tegas)
- Tasāmuh (toleransi)
- Musāwah (Egaliter)
- Syurā (musyawarah)
Berikut di bawah ini adalah penjelasan dan uraian dari 6 Prinsip Moderasi Beragama dalam Konsep Islam:
Tawassuth
Tawassuth adalah pemahaman dan pengamalan agama yang tidak ifrāth, yakni berlebih-lebihan dalam beragama dan tafrīth, yaitu mengurangi ajaran agama.
Tawassuth adalah sikap tengah-tengah atau sedang di antara 2 (dua) sikap, yaitu tidak terlalu jauh ke kanan (fundamentalis) dan terlalu jauh ke kiri (liberalis).
Dengan sikap tawassuth ini, Islam akan mudah diterima di segala lapisan masyarakat.
Karakter tawassuth dalam Islam adalah titik tengah di antara dua ujung dan hal itu merupakan kebaikan yang sejak semula telah diletakkan Allah SWT.
Nilai tawassuth yang sudah menjadi prinsip dalam Islam ini perlu diterapkan dalam segala bidang supaya agama Islam dan ekspresi keagamaan umat Islam menjadi saksi pengukur kebenaran bagi semua sikap dan tingkah laku manusia pada umumnya.
Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan tawasuth ialah sebagai berikut:
- Pertama, tidak bersikap ekstrem dalam menyebarluaskan ajaran agama.
- Kedua, tidak mudah mengafirkan sesama muslim karena perbedaan pemahaman agama.
- Ketiga, memposisikan diri dalam kehidupan bermasyarakat dengan senantiasa memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah) dan toleransi (tasāmuh), hidup berdampingan dengan sesama umat Islam maupun warga negara yang memeluk agama lain (Thoha: 2013, 11).
Dalam Islam, prinsip tawassuth ini secara jelas disebut dalam QS al-Baqarah [2]: 143 yang artinya:
"Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian". (QS al-Baqarah [2]: 143).
Tawāzun
Tawāzun adalah pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrowi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhirāf (penyimpangan), dan ikhtilāf (perbedaan).
Tawāzun juga memiliki pengertian memberi sesuatu akan haknya tanpa ada penambahan dan pengurangan.
Tawāzun, karena merupakan kemampuan sikap seorang individu untuk menyeimbangkan kehidupannya, maka ia sangat penting dalam kehidupan seseorang individu sebagai muslim, sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat.
Melalui sikap tawāzun, seorang muslim akan mampu meraih kebahagiaan batin yang hakiki dalam bentuk ketenangan jiwa dan ketenangan lahir dalam bentuk kestabilan dan ketenangan dalam aktivitas hidup.
Konsep tawāzun ini dijelaskan dalam firman Allah Swt dalam QS al-Hadid [57]: 25 di bawah ini yang artinya:
"Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan". (QS al-Hadid [57]: 25).
I'tidāl
Secara bahasa, i’tidāl memiliki arti lurus dan tegas, maksudnya adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional.
I’tidāl merupakan bagian dari penerapan keadilan dan etika bagi setiap muslim.
Keadilan yang diperintahkan Islam diterangkan oleh Allah supaya dilakukan secara adil, yaitu bersifat tengah-tengah dan seimbang dalam segala aspek kehidupan dengan menunjukkan perilaku ihsan.
Adil berarti mewujudkan kesamaan dan keseimbangan di antara hak dan kewajiban.
Hak asasi tidak boleh dikurangi karena disebabkan adanya kewajiban.
Tanpa mengusung keadilan, nilai-nilai agama terasa kering dan tiada bermakna, karena keadilan menyentuh hajat hidup orang banyak (Maarif: 2017, 143).
Moderasi harus senantiasa mendorong upaya untuk mewujudkan keadilan sosial yang dalam agama dikenal dengan al-mashlahah al-‘āmmah.
Dengan berdasar pada al-mashlahah al-‘āmmah, fondasi kebijakan publik akan membawa esensi agama di ruang publik.
Setiap pemimpin mempunyai tanggung jawab untuk menerjemahkannya dalam kehidupan nyata untuk kepentingan publik (Misrawi: 2010, 13).
Tasāmuh
Tasāmuh berarti toleransi.
Di dalam kamus lisan al-Arab kata tasāmuh diambil dari bentuk asal kata samah, samahah yang dekat dengan makna kemurahan hati, pengampunan, kemudahan, dan perdamaian, (Siradj: 2013, 91).
Secara etimologi, tasāmuh adalah menoleransi atau menerima perkara secara ringan.
Sedangkan secara terminologi, tasāmuh berarti menoleransi atau menerima perbedaan dengan ringan hati (Masduqi: 2011, 36).
Tasāmuh merupakan pendirian atau sikap seseorang yang termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beraneka ragam, meskipun tidak sependapat dengannya.
Tasāmuh atau toleransi ini erat kaitannya dengan masalah kebebasan atau kemerdekaan hak asasi manusia dan tata kehidupan bermasyarakat, sehingga mengizinkan berlapang dada terhadap adanya perbedaan pendapat dan keyakinan dari setiap individu.
Orang yang memiliki sifat tasāmuh akan menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang berbeda dengan pendiriannya.
Tasāmuh berarti suka mendengar dan menghargai pendapat orang lain.
Ketika tasāmuh mengandung arti kebesaran jiwa, keluasan pikiran, dan kelapangan dada, maka ta’āshub adalah kekerdilan jiwa, kepicikan pikiran dan kesempitan dada.
Musāwah
Secara bahasa, musawah berarti persamaan.
Secara istilah, musāwah adalah persamaan dan penghargaan terhadap sesama manusia sebagai makhluk Allah.
Semua manusia memiliki harkat dan martabat yang sama tanpa memandang jenis kelamin, ras ataupun suku bangsa.
Konsep musāwah dijelaskan dalam firman Allah Swt QS al-Hujurat [49]: 13, yang artinya:
"Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqkwa diantara kamu. Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ayat tersebut menegaskan kesatuan asal-usul manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan baik laki-laki maupun perempuan.
Intinya antara laki-laki dan perempuan adalah sama tidak ada perbedaan antara satu dan yang lainnya.
Musāwah dalam Islam memiliki prinsip yang harus diketahui oleh setiap muslim, yaitu persamaan adalah buah dari keadilan dalam Islam.
Setiap orang sama, tidak ada keistimewaan antara yang satu melebihi lainnya, memelihara hak-hak non muslim, persamaan laki-laki dan perempuan dalam kewajiban agama dan lainnya, perbedaan antara manusia dalam masyarakat, persamaan di depan hukum, dan persamaan dalam memangku jabatan publik, serta persamaan didasarkan pada kesatuan asal bagi manusia.
Syurā
Kata Syurā berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu.
Syurā atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai sesuatu perkara.
Dalam Al-Quran ada 2 (dua) ayat yang menyebutkan secara jelas mengenai musyawarah sebagaimana bunyi di bawah ini:
1. QS Ali Imron [3]: 159 yang artinya:
"Maka disebabkan rahmat Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya". (QS Ali Imron [3]: 159).
2. QS Al-Syurā :38 yang artinya:
"Dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rizki yang kami berikan kepada mereka". (QS Al-Syurā :38).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa musyawarah memiliki kedudukan tinggi dalam Islam.
Di samping merupakan bentuk perintah Allah, musyawarah pada hakikatnya juga dimaksudkan untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang demokratis.
Di sisi lain, pelaksanaan musyawarah juga merupakan bentuk penghargaan kepada tokoh dan para pemimpin masyarakat untuk berpartisipasi dalam urusan dan kepentingan bersama.
Demikianlah penjelasan mengenai 6 Prinsip Moderasi Beragama dalam Konsep Islam yang dapat Admin bagikan kepada Anda semua, semoga dapat bermanfaat.
Terima Kasih.
Selamat Belajar Daring.
Daftar Pustaka
Katsir, Ibn. Tafsir Al-Quran Al-Karim, Beirut: Dar Fikr, 2007.
Maarif, Nurul H. Islam Mengasihi Bukan Membenci, Bandung; Mizan Pustaka, 2017.
Misrawi, Zuhairi. Hadratussyaikh Hasyim Asyari Moderasi, Keutamaan, dan Kebangsaan, Jakarta; PT Kompas Media Nusantara, 2010.
Posting Komentar untuk "6 Prinsip Moderasi Beragama dalam Konsep Islam"