Mengenal Konsep Moderasi Beragama
Belajar Daring - Mengenal Konsep Moderasi Beragama merupakan tema kali yang akan Admin informasikan atau pembahasan yang nantinya dapat dijadikan sebagai bahan rujukan atau tambahan wawasan.
Moderasi beragama biasa dipahami sebagai sikap tengah dalam memahami ajaran agama.
Dalam Islam, konsep moderasi ini sering dipadankan dengan istilah Islam wasathiyah.
Konsep Islam wasathiyah secara umum juga dijadikan dasar dalam memahami prinsip-prinsip moderasi dalam beragama, terutama dalam perspektif keislaman.
Pengertian Moderasi Beragama
Secara konseptual, moderasi beragama dibangun dari kata moderasi.
Kata moderasi sendiri diadopsi dari bahasa Inggris moderation (Oxford, 2000, 820) yang artinya sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan, dan tidak memihak.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 2005, 751) kata ‘moderasi’ diambil dari kata moderat yang berarti mengacu kepada makna perilaku atau perbuatan yang wajar dan tidak menyimpang, berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah, pandangannya cukup, dan mau mempertimbangkan pandangan pihak lain.
Dilihat dari pengertian secara umum, moderasi beragama berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak sebagai ekspresi sikap keagamaan individu atau kelompok tertentu.
Perilaku keagamaan yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan tersebut konsisten dalam mengakui dan memahami individu maupun kelompok lain yang berbeda.
Dengan demikian, moderasi beragama memiliki pengertian seimbang dalam memahami ajaran agama, di mana sikap seimbang tersebut diekspresikan secara konsisten dalam memegangi prinsip ajaran agamanya dengan mengakui keberadaan pihak lain.
Perilaku moderasi beragama menunjukkan sikap toleran, menghormati atas setiap perbedaan pendapat, menghargai kemajemukan, dan tidak memaksakan kehendak atas nama paham keagamaan dengan cara kekerasan.
Moderasi beragama dikenal dalam bahasa Arab dengan istilah Islam wasathiyyah.
Secara bahasa (Ash-Salibi: 2001, Ibn Faris: 1979, dan Ibnu Manzur, tt) telah dijelaskan bahwa pengertian wasathiyyah mengarah pada makna adil, utama, pilihan atau terbaik, dan seimbang antara dua posisi yang berseberangan.
Kata wusuth memiliki makna al-mutawassith dan al-mu’tadil.
Kata al-wasath juga memiliki pengertian al-mutawassith baina al-mutakhashimain (penengah di antara dua orang yang sedang berselisih).
Dalam kajian Islam secara akademik, Islam wasathiyyah juga disebut justly-balanced Islam, the middle path atau the middle way Islam, dan Islam sebagai mediating and balancing power untuk memainkan peran mediasi dan pengimbang.
Pemaknaan ini menunjukkan bahwa Islam wasathiyah mengedepankan pentingnya keadilan dan keseimbangan serta jalan tengah agar tidak terjebak pada sikap keagamaan ekstrem.
Selama ini, konsep Islam wasathiyyah dipahami untuk merefleksikan prinsip tawassuth (tengah), tasāmuh (toleran), tawāzun (seimbang), i'tidāl (adil), dan iqtishād (sederhana).
Pengertian wasatiyyah yang berangkat dari makna-makna etimologis di atas adalah suatu karakteristik terpuji yang menjaga seseorang dari kecenderungan bersikap ekstrem.
Moderasi juga bisa didefinisikan sebagai sebuah metode berpikir, berinteraksi dan berperilaku yang didasari atas sikap tawāzun (seimbang) dalam menyikapi 2 (dua) keadaan perilaku yang dimungkinkan untuk dianalisis dan dibandingkan, sehingga dapat ditemukan sikap yang sesuai dengan kondisi dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama dan tradisi masyarakat (Hanafi: 2009, 40).
Dengan pengertian ini, sikap wasathiyyah akan melindungi seseorang dari kecenderungan terjerumus pada sikap berlebihan.
Konsep Moderasi Beragama
Dalam buku yang berjudul “Qadāyā al-Fiqh wa al-Fikr al-Mu’āshir”, Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa cara berpikir dan bersikap moderasi yang paling mungkin membawa stabilitas dan ketenangan, yang akan sangat membantu kesejahteraan individu dan masyarakat.
Hal ini dikarenakan wasathiyyah merupakan wujud dari esensi kehormatan moral dan kemuliaan Islam (Zuhaili, 2006, 583).
Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan, sikap wasathiyyah sama dengan al-tawāzun, yaitu upaya untuk menjaga keseimbangan antara dua sisi/ ujung/ pinggir yang berlawanan atau bertolak-belakang, agar jangan sampai yang satu mendominasi dan menegasikan yang lain.
Sebagai contoh 2 (dua) sisi yang bertolak belakang; spiritualisme dan materialisme, individualisme dan sosialisme, paham yang realistik dan yang idealis, dan lainnya.
Bersikap seimbang yang perlu dimunculkan yaitu dengan memberi porsi yang adil dan proporsional kepada masing-masing sisi/ pihak tanpa berlebihan, baik karena terlalu banyak maupun terlalu sedikit (Al-Qardawi: 1983, 127).
Abd al-Karim al-Zaid mendefinikan wasathiyyah sebagai suatu konsep yang mengandung makna yang luas meliputi setiap karakteristik terpuji (khashah mahmūdah) di antara dua sisi tercela/ ekstrem (tarfani mazmūmāni), seperti kedermawanan antara kebakhilan dan kemubaziran, sikap berani antara kepengecutan dan bunuh diri (Al-Farfur: 1993, 18).
Adapun pengertian wasathiyyah dalam terminologi Islam, secara terperinci dijelaskan Yusuf Al-Qardawi sebagai sebuah sikap yang mengandung pengertian sikap adil, yang berkonsekuensi kualitas kesaksian dapat diterima.
Perhatikan firman Allah Swt pada Q.S. al-Baqarah [2]: 143 yang artinya:
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia". (Q.S. al-Baqarah [2]: 143).
Kemudian wasathiyyah berarti juga konsistensi dalam cara berpikir (istiqāmah fi al-manhaj) dan jauh dari penyelewengan dan penyimpangan, sebagaimana firman Allah SWT pada QS al-Fatihah: 6, yang artinya:
"Tunjukilah kami jalan yang lurus" (QS al-Fatihah [1]: 6).
Pada saat yang lain wasathiyyah berarti pula dasar kebaikan (dalil al-khairiyyah), penampakan keutamaan dan keistimewaan dalam perkara kebendaan (al-maddiyyat) dan kemaknawian (al-ma’nawiyyat).
Wasathiyyah juga berarti tempat yang penuh keamanan yang jauh dari marabahaya.
Demikian pula Wasathiyyah juga memiliki pengertian sebagai sumber kekuatan, pusat persatuan, dan perpaduan.
Sebagian pakar lain ada yang berpendapat bahwa konsep wasathiyyah bukanlah suatu sikap yang diambil oleh seseorang terhadap agamanya, bukan pula sebuah metode untuk memahami agama.
Akan tetapi, wasathiyyah adalah sebuah karakter yang diperoleh seorang muslim sebagai buah dari komitmennya terhadap ajaran agama.
Karakter inilah yang menjadikan seorang muslim dalam konteks pengertian tersebut masuk ke dalam golongan syuhadā’ ’ala an-nās (para saksi atas manusia), yaitu para saksi yang diterima oleh Allah persaksiannya.
Selain itu, karakter ini juga telah terdeskripsikan dalam sikap beragama Nabi Muhammad dan para shahabatnya.
Sebab dengan hikmah-Nya yang Maha Luas, Allah telah memberikan contoh hidup yang nyata dalam bentuk jama’ah atau komunitas yang terwujud di dalam wasathiyyah ini.
Allah dan Rasul-Nya telah menjadi saksi bagi para sahabat Nabi Muhammad bahwa mereka telah mewujudkan karakter wasathiyyah tersebut.
Oleh karena itu, setiap orang yang dekat dengan manhaj komunitas sahabat dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama dan antusias mengikuti jejaknya, maka ia semakin dekat kapada wasathiyyah, (al-Luwaihiq: 2010, 8).
Meski demikan, 2 (dua) pandangan ini pada hakikatnya saling menguatkan satu sama lainnya.
Hal ini bisa diartikan bahwa jika seorang muslim yang memiliki komitmen tinggi serta secara konsisten menjalankan aturan agama (syari؛at) dengan pemahaman dan penghayatan yang benar, maka karakteristik wasathiyyah yang dimiliki oleh individu ini akan tampak pada dirinya lalu melahirkan sikap yang proporsional dalam menilai dan menyikapi setiap kondisi dan sesuatu yang berbeda.
Selain itu, ada yang memahami karakteristik Islam wasathiyyah berhubungan dengan posisi tengah Islam antara agama samawi terdahulu, yaitu Yahudi yang menekankan ketegasan dan keadilan (dīn al-‘adālah) dan Kristen yang menekankan kasih sayang (dīn al-rahmah).
Islam sebagai agama tengah memadukannya sebagai agama keadilan dan kasih sayang sekaligus (dīn al-‘adālah wa al-rahmah).
Dengan demikian, Islam wasathiyyah juga menegaskan jalan tengah dalam arti tidak terjebak dalam 2 (dua) titik ekstremitas (al-ghulwu wa al-taqshīr).
Islam wasathiyyah juga dipahami sebagai jalan tengah antara dua orientasi beragama yang asketis-spritualistik dan legalistik formalistik.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam wasathiyyah adalah watak dasar Islam sejak kelahirannya.
Demikianlah ulasan atau pembahasan yang dapat Admin informasikan mengenai Mengenal Konsep Moderasi Beragama, semoga dapat bermanfaat.
Terima Kasih.
Selamat Belajar Daring.
Daftar Pustaka
Al-Farfur, Muhammad Abd al-Latif. Al-Wasathiyyah fi al-Islām, Beirut: Dar an- Nafais, 1414/ 1993.
Ash-Salibi, Ali Muhammad. al-Wasatiyyah fî al-Qur’an, cet. ke-1, Kairo: Maktabat at Tabi’iin, 1422/2001.
Hornby A S, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Sixth Editiaon, Edited by Sally Wehmeier, New York: Oxford University Press, 2000.
Katsir, Ibn. Tafsir Al-Quran Al-Karim, Beirut: Dar Fikr, 2007.
Posting Komentar untuk "Mengenal Konsep Moderasi Beragama"